Monday, December 4, 2017

Singaperbangsa Dan Pantangan Menyembelih Kambing

Bupati Pertama Karawang Dan Pantangan Menyembelih Kambing

Setelah kemarin penulis mempost sejarah tentang siapa Raden Adipati Singaperbangsa, ada kisah menarik yang berhubungan erat dengan cerita mengenai Singaperbangsa yaitu
pantangan warga Desa Ciranggon Kecamatan Majalaya, Kabupaten Karawang agar tidak memelihara atau menyembelih kambing.




Pantangan tersebut tidak lepas dari keberadaan telaga berbentuk sumur yang berada di Desa Ciranggon Kecamatan Majalaya Karawang, yang biasa disebut Kobak Sumur oleh warga sekitar. Menurut cerita warga setempat, sumur tua inilah yang menjadi sumber dari cerita terkaitan dengan pantangan warga memelihara dan menyembelih kambing di daerah tersebut.

Larangan memelihara atau menyembelih kambing adalah pangkal dari peristiwa berdarah yang terjadi di Karawang pada masa lalu. Yakni peristiwa mengenai kisah terpenggalnya kepala Singaperbangsa, Bupati Karawang di masa itu.


Dalam cerita yang dikisahkan secara turun temurun disebutkan bahwa pemberontakan Trunajaya berpengaruh besar bagi Karawang.

Hal itu dijadikan kesempatan oleh orang-orang Makasar yang membantu pemberontakan Trunajaya untuk melakukan aksi kriminal seperti merampok, merampas harta benda dan bahkan pembunuhan warga yang tidak berdosa.

Aksi ini pada akhirnya menimbulkan kesengsaraan rakyat Karawang yang hidup di sekitar Pantai Utara Jawa.

Di saat yang sama, penduduk Karawang yang tinggal di sepanjang sungai Citarum, juga tak luput dari gangguan orang-orang Banten yang dendam karena pangeran Puger Agung dipenggal kepalanya oleh Adipati Kertabumi IV, atau Singaperbangsa III, Bupati Karawang pada masa itu.

Bupati Karawang pada masa itu sebagaimana yang ditetapkan dalam pelat berupa kuningan yang disebut sebagai Kandang Sapi Gede, yang merupakan bukti surat pengangkatan wadana (setara dengan Bupati) Karawang. Bahwa antara Singaperbangsa dan Aria Wirasaba adalah setingkat.

Tetapi dalam pelaksanaan roda pemerintahan, Aria Wirasaba dianggap bawahan Singaperbangsa, sebagai Bupati Karawang. Sementara Aria Wirasaba hanya mempertahankan dan memerintah Waringin Pitu, Parakan Sapi dan Adiarsa.

Kekurang kompakan mereka sebagai tampuk pimpinan dimanfaatkan oleh dua pimpinan pasukan tentara Trunajaya yaitu  Nata Manggala dan Wangsananga.

Maka pendopo Karawang diserang oleh Nata Manggala dan Wangsanga bersama pasukannya.

Singaperbangsa terdesak dan lari ke arah utara.  Akan tetapi di daerah Tunggak Jati Tengah, Singaperbangsa berhasil ditangkap dan dipenggal kepalanya.

Sedangkan istri dan keluarga serta Raden Anom Wirasuta, Putra Singaperbangsa, menyelamatkan diri dengan menyebrangi Sungai Citarum.

Rombongan ini dipimpin Singa Derpa Kerta Kumambang. Rombongan ini terus melarikan diri menuju ke selatan.

Hampir bersamaan dengan peristiwa terbunuhnya Singaperbangsa ini, R Suriadipati Putra Rangga Gede dari Sumedanglarang, diangkat menjadi penguasa di Kelapa Dua.

Sementara Indra Manggala Putra Dalem Jaya Manggala dari Sukakerta, Tasikmalaya,  juga mendengar Karawang diserang pemberontak.

Dia dan pasukannya segera menuju Karawang.  Sampai di suatu tempat Indra Manggala bertemu dengan rombongan keluarga bupati Karawang yang dipimpin Singa Derpa Kerta Kumambang.

Kedua belah pihak kemudian melakukan perjanjian damai. Tempat atau bekas perundingan damai ini kini disebut Kampung Badami (Berdamai), yang kini termasuk wilayah Wadas, Teluk Jambe.

Setelah pejanjian damai disepakati, Suriadipati dan Indra Manggala segera berupaya menyelamatkan jenazah bupati Singaperbangsa dengan cara menyusup ke wilayah kotaraja.

Meski akhirnya mereka tahu kalau Singaperbangsa telah gugur, namun Suriadipati dan Indra Manggala telah sepakat bahwa apapun yang terjadi, kepala bupati Karawang yang terpisah dari badannya itu harus bisa diselamatkan.

Dikisahkan, selang beberapa waktu kemudian, keduanya dapat memasuki kotaraja Karawang. Bahkan, mereka dapat menyusup ke areal pendopo Karawang yang telah diduduki pemberontak.

Ketika itulah mereka melihat potongan kepala Singaperbangsa dipertontonkan dengan cara ditancapkan dekat pendopo. Maksudnya tak lain agar rakyat Karawang menyerah dan tunduk kepada para pemberontak.

Dengan taktik dan strategi yang jitu, akhirnya Suriadipati dan Indra Manggala dapat menyelamatkan kepala bupati Karawang tersebut.
Mereka kemudian membawanya untuk dipersatukan kembali dengan tubuhnya yang telah dibawa terlebih dahulu oleh para abdi dalem dan rakyat Karawang yang telah mengungsi. Maksudnya tak lain untuk dimakamkan secara layak.

Konon menurut cerita, daerah yang dilalui para abdi dalem dan rakyat Karawang dalam pelariannya disebut Klari.  Konon, setelah pemakaman selesai para abdi dalem kembali menemui Singaderpa Kerta Kumambang di Citaman.

Menurut riwayat, sebelum keduanya tiba di daerah Manggung Jaya, lokasi yang direncanakan untuk memakamkan Singaperbangsa,Rangga Suriadipati dan Indra Manggala beristirahat di daerah Ciranggon, tepatnya di kawasan irigasi, dekat sebuah sendang. Nah, sendang inilah yang sekarang disebut Kobak Sumur oleh masyarakat setempat.

Karena merasa prihatin melihat potongan kepala Singaperbangsa yang kotor, meski masih dihantui kejaran pasukan Trunojoyo. Namun keduanya menyempatkan diri untuk membersihkan potongan kepala Singaperbangsa yang berlumur darah kering itu. Tempat mencucinya di Kobak Sumur tersebut.

Konon, akibat perbuatan mereka yang sembrono ini, air sendang yang tadinya jernih, seketika memerah dan berbau anyir.
Kemudian sesosok makhluk halus penguasa sendang tersebut hadir di tempat itu.

Dengan kesaktian yang mereka miliki, lantas keduanya melakukan kontak gaib dengan makhluk tersebut.

Dari hasil dialog gaib disimpulkan bahwa siluman tersebut sangat tertarik dengan kepala dan bau anyir potongan kepala Singaperbangsa.

Lalu mereka mencoba mengusir siluman tersebut. Akan tetapi siluman itu ternyata memiliki kesaktian tinggi, sehingga tak mudah menaklukkannya.

Ketika mereka terdesak dan hampir hilang akal, maka ketika itulah mereka melihat beberapa orang sedang menggiring sekumpulan kambing.

Rangga Suriadipati segera tanggap lalu dipanggilnya para penggiring kambing itu. Dia pun menceritakan kesulitan yang tengah dihadapannya, dan meminta agar para penggiring kambing itu sudi menyerahkan salah seekor kambingnya untuk dijadikan tumbal pengganti potongan kepala Singaperbangsa.

Terdorong oleh kecintaan mereka, dan demi menyelamatkan potongan kepala Singaperbangsa, salah seorang penggiring kambing itu menyerahkan seekor kambing jantan miliknya.

Kambing inilah yang kemudian disembelih dan kepalanya dipisah dari badannya. Potongan kepala kambing itu lantas ditancapkan di sekitar sendang Kobak Sumur, menggunakan batang bambu kuning, dengan maksud untuk mengelabui si makhluk halus yang menginginkan potongan kepala Singaperbangsa.

Dengan melakukan ritual sederhana ini akhirnya mereka terlepas dari gangguan siluman.  Dengan mata kepala sendiri, mereka menyaksikan wujud sosok siluman itu pergi membawa bangkai kambing tanpa kepala tersebut, sementara kepalanya ditinggalkan menancap di lokasi sendang.

Suriadipati dan Indra Manggala menyakini makhluk halus itu tertarik dengan kepala kambing yang masih basah dengan darah dan yakin siluman itu akan kembali mengambilnya.

Selain untuk mengelabui siluman, penancapan kepala kambing itu dimaksudkan juga sebagai tanda isyarat bagi pengikut Singaperbangsa, bahwa kepala junjungannya telah berhasil diselamatkan. Lalu Rangga Suriadipati dan Indra Manggala segera meneruskan perjalanannya ke Manggung.

Konon dari peristiwa itulah, tercipta kenapa di daerah Ciranggon orang tabu untuk memelihara apalagi menyembelih kambing, termasuk untuk berkurban.

Namun cerita ini masih diperdebatkan oleh sebagian warga Karawang karena mereka menilai sang adipati tidak mungkin dengan mudahnya ditaklukan oleh pengikut Trunojoyo. Karena Adipati Singaperbangsa dikenal dengan kesaktiannya, (Cerita ini di lansir dari laman Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Karawang)

Raden Adipati Singaperbangsa

Raden Adipati Singaperbangsa, dikenal pula dengan sebutan Panembahan Singaperbangsa, Dalem Kalidaon atau Eyang Manggung, adalah Bupati Karawang pertama dan berjabat dari tahun 1633 sampai 1677 dengan gelar Adipati Kertabumi IV.


Sejarah
Singaperbangsa adalah putra Wiraperbangsa dari kerajaan Galuh.
Singaperbangsa mempunyai garis keturunan dari Prabu Gesang Ulun, penguasa kerajaan Sumedang Larang. Dia adalah putera dari Adipati Kertabumi III yang telah berhasil mengusir Pangeran Nagaragan dari Banten, yang sebelumnya berusaha menguasai daerah Karawang.

Keberhasilan Adipati Kertabumi III ini membuatnya dianugerahi keris yang diberi nama "Karosinjang" dan perintah untuk tetap memegang kekuasaan di Karawang sebagai wakil dari Sultan Agung dari Mataram, namun tugas itu tidak dapat ditunaikan karena Adipati Kertabumi III meninggal dunia pada saat berada di Galuh. Namun tugas itu tidak dapat ditunaikan karena Adipati Kertabumi III meninggal dunia pada saat berada di Galuh.
Selanjutnya, melalui Piagam Pelat Kuningan Kandang Sapi Gede Sultan Agung mengangkat Singaperbangsa sebagai penguasa di Karawang dengan gelar Adipati Kertabumi  IV.
Piagam Pelat Kuningan Kandang Sapi berbunyi sebagai berikut :

"Panget Ingkang piagem kanjeng ing Ki Rangga gede ing Sumedang kagadehaken ing Si astrawardana. Mulane sun gadehi piagem, Sun Kongkon anggraksa kagengan dalem siti nagara agung, kilen wates Cipamingkis, wetan wates Cilamaya, serta kon anunggoni lumbung isine pun pari limang takes punjul tiga welas jait. Wodening pari sinambut dening Ki Singaperbangsa, basakalatan anggrawahani piagem, lagi lampahipun kiayi yudhabangsa kaping kalih Ki Wangsa Taruna, ingkang potusan kanjeng dalem ambakta tata titi yang kalih ewu; dipunwadanahaken ing manira, Sasangpun katampi dipunprenaharen ing Waringipitu ian ing Tanjungpura, Anggraksa siti gung bongas kilen, Kala nulis piagem ing dina rebo tanggal ping sapuluh sasi mulud tahun alif. Kang anulis piagemmanira anggaprana titi “.

Terjemahan dalam Bahasa Indonesia :
“Peringatan piagam raja kepada Ki Ranggagede di Sumedang diserahkan kepada Si Astrawardana. Sebabnya maka saya serahi piagam ialah karena saya berikan tugas menjaga tanah negara agung milik raja. Di sebelah Barat berbatas Cipamingkis, disebelah Timur berbatas Cilamaya, serta saya tugaskan menunggu lumbung berisi padi lima takes lebih tiga belas jahit. Adapun padi tersebut diterima oleh Ki Singaperbangsa. Basakalatan yang menyaksikan piagam dan lagi Kyai Yudhabangsa bersama Ki Wangsataruna yang diutus oleh raja untuk pergi dengan membawa 2000 keluarga. Pimpinannya adalah Kiayi Singaperbangsa serta Ki Wirasaba. Sesudah piagam diterima kemudian mereka ditempatkan di Waringinpitu dan di Tanjungpura. Tugasnya adalah menjaga tanah negara agung di sebelah Barat. Piagan ini ditulis pada hari Rabu tanggal 10 bulan mulud tahun alif. Yang menulis piagam ini ialah anggaprana, selesai 
Sultan Agung mengangkat Singaperbangsa sebagai penguasa di Karawang dengan gelar Adipati Kertabumi IV.

Pengangkatan Singaperbangsa ini dipandang sebagai titik awal Lahirnya Kabupaten Karawang, dengan Singaperbangsa sebagai bupati pertama. Dalam melaksanakan tugasnya, Singaperbangsa didampingi oleh Aria Wirasaba, yang pada waktu itu oleh VOC disebut Tweede regent ("bupati kedua"), sedangkan Singaperbangsa sendiri disebut Hoofd regent ("bupati utama").


Pada masa pemerintahan Singaperbangsa, pusat pemerintahan Karawang berada di Bunut Kertayasa (sekarang termasuk wilayah kelurahan Karawang Kulon, Karawang Barat, Karawang).

Singaperbangsa wafat pada tahun 1677, Makam Singaperbangsa berada di komplek pemakaman para bupati Karawang yang terletak di desa Manggung jaya, Cilamaya Kulon, Karawang. Oleh karena itu Singaperbangsa juga dijuluki "Eyang Manggung". Komplek pemakaman ini diziarahi masyarakat Karawang.
-(Irvan hanapi)

Sunday, December 3, 2017

SEJARAH TERBENTUKNYA KOTA KARAWANG


"Nama Karawang sendiri berasal dari bahasa sumda. Ka-rawa-an
yang berarti tempat berawa, nama tersebut sesuai dengan geografis  karawang yang ber rawa-rawa"

Bermula dari runtuhny Kerajaan Pajajaran pada tahun 1579 M, pada tahun 1580, berdirilah Kerajaan Sumedanglarang, sebagai penerus Kerajaan Pajajaran dengan Rajanya Prabu Geusan Ulun, Putera Ratu Pucuk Umum (Disebut juga Pangeran Istri) dengan Pangeran Santri Keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon.

Kerajaan Islam Sumedanglarang yang pemerintahannya berpusat di Dayeuhluhur dengan membawahi Sumedang, Galuh, Limbangan, Sukakerta dan Karawang. Pada tahun 1608 M, Prabu Geusan Ulum wafat digantikan oleh puteranya Ranggagempol Kusumahdinata, putera Prabu Geusam Ulum dari istrinya Harisbaya, keturunan Madura. Pada masa itu di Jawa Tengah telah berdiri Kerajaan Mataram dengan Rajanya Sultan Agung (1613-1645), Salah satu cita-cita Sultan Agung pada masa pemerintahannya adalah dapat menguasasi Pulau Jawa dan menguasai Kompeni (Belanda) dari Batavia.

Rangggempol Kusumahdinata sebagai Raja Sumedanglarang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Sultan Agung dan mengajui kekuasaan mataram. Maka pada tahun 1620, Ranggagempol Kusumahdinata menghadap ke Mataram dan menyerahkan Kerajaan Sumdeanglarang dibawah naungan Kerajaan Mataram, Sejak itu Sumedanglarang dikenal dengan sebutan “PRAYANGAN”. Ranggagempol Kusumahdinata, oleh Sultan Agung diangkat menjadi Bupati Wadana untuk tanah Sunda dengan batas-batas wilayah disebelah Timur Kali Cipamali, sebelah Barat Kali Cisadane, dsebelah Utara Laut Jawa dan, disebelah Selatan Laut Kidul. Karena Kerajaan Sumedanglarang ada di bawah naungan Kerajaan Mataram, maka dengan sendirinya Karawang pun berada di bawah kekuasaan Mataram.


Pada Tahun 1624 Ranggagempol Kusumahdinata wafat; dan dimakamkan di Bembem Yogyakarta. Sebagai penggantinya Sultan Agung mengangkat Ranggagede, putra Prabu Geusan Ulun, dari istri Nyimas Gedeng Waru dari Sumedang, Ranggagempol II, putra Ranggagempol Kusumahdinata yang mestinya menerima Tahta Kerajaan. Merasa disisihkan dan sakit hati. Kemudian beliau berangkat ke Banten, dan meminta bantuan kepada Sultan Banten, agar dapat menaklukan Kerajaan Sumedanglarang. Dengan Imbalan apabila berhasil, maka seluruh wilayah kekuasaan Sumedanglarang akan diserahkan kepada Sultan Banten. Sejak itu Banyak tentara Banten yang dikirim ke Karawang terutama di sepanjang Sungai Citarum, di bawah pimpinan Pangeran Pager Agung, dengan bermarkas di Udug-udug.


Pengiriman bala tentara Banten ke Karawang, dilakukan Sultan Banten, bukan saja untuk memenuhi permintaan Ranggagempol II, tetapi merupakan awal usaha Banten untuk menguasai Karawang sebagai persiapan merebut kembali Pelabuhan Banten, yang telah dikuasai oleh Kompeni (Belanda) yaitu Pelabuhan Sunda Kelapa.


Masuknya tentara Banten ke Karawang beritanya telah sampai ke Mataram, pada tahun 1624 Sultan Agung mengutus Surengrono (Aria Wirasaba) dari Mojo Agung Jawa Timur, untuk berangkat ke Karawang dengan membawa 1000 prajurit dan keluarganya, dari Mataram melalui Banyumas dengan tujuan untuk membebaskan Karawang dari pengaruh Banten. Mempersiapkan logistik dengan membangun gudang-gudang beras dan meneliti rute penyerangan Mataram ke Batavia.


Di Banyumas, Aria Surengrono meninggalkan 300 prajurit dengan keluarganya untuk mempersiapkan Logistik dan penghubung ke Ibu kota Mataram. Dari Banyumas perjalanan dilanjutkan dengan melalui jalur utara melewato Tegal, Brebes, Cirebon, Indramayu dan Ciasem. Di Ciasem ditinggalkan lagi 400 prajurit dengan keluarganya, kemudian perjalanan dilanjutkan lagi ke Karawang.


Setibanya di Karawang, dengan sisa 300 prajurit dan keluarganya, Aria Surengrono, menduga bahwa tentara Banten yang bermarkas di udug-udug, mempunyai pertahanan yang sangat kuat, karena itu perlu di imbangi dengan kekuatan yang memadai pula.


Langkah awal yang dilakukan Surengrono membentuk 3 (Tiga) Desa yaitu desa Waringinpitu (Telukjambe), Parakan Sapi (di Kecamatan Pangkalan) yang kini telah terendam air Waduk Jatiluhur ) dan desa Adiarsa (sekarang termasuk di Kecamatan Karawang, pusat kekuatan di desa Waringipitu.


Karena jauh dan sulitnya hubungan antara Karawang dan Mataram, Aria Wirasaba belum sempat melaporkan tugas yang sedang dilaksanakan Sultan Agung. Keadaan ini menjadikan Sultan Agung mempunyai anggapan bahwa tugas yang diberikan kepada Aria Wirasaba gagal dilaksanakan.


Pengabdian Aria Wirasaba selanjutnya, lebih banyak diarahkan kepada misi berikutnya yaitu menjadikan Karawang menjadi “lumbung padi” sebagai persiapan rencana Sultan Agung menyerang Batavia, disamping          mencetak prajurit perang.


Di desa Adiarsa, sangat menonjol sekali perjuangan keturunan Aria Wirasaba. Walaupun keturunan Aria Wirasaba oleh Belanda hanya dianggap sebagai patih di bawah kedudukan Bupati dari keturunan Singaperbangsa, tetapi ditinjau dari segi perjuangan melawan Belanda, pantas mendapat penghargaan dan penghormatan.


Karena perlawanannya terhadap Belanda, akhirnya Aria Wirasaba II ditangkap oleh Belanda dan ditembak mati di Batavia, Kuburannya ada di Manggadua, di dekat Makam Pangeran Jayakarta.


Putra Kedua Aria Wirasaba, yang bernama Sacanagara bergelar Aria Wirasaba III, berpendirian sama dengan Aria Wirasaba I dan II, tidk mau tunduk pada Belanda, serta tidak meninggalkan misi sesepuhnya, yaitu memajukan pertanian rakyat, irigasi dan syiar Islam.


Aria Wirasaba III meninggalkan kedudukannya sebagai patih, karena dirasakannya hanya menjadi jalur untuk menekan rakyatnya. Setelah wafat beliau dimakamkan di Kalipicung, termasuk desa Adiarsa sekarang.



Adipati Singaperbangsa

Kematian Singaperbangsa, juga lebih diakibatkan oleh salah tafsir Raden Trunojoyo Bupati Panarukan yang memberontak Pemerintahan Sunan Amangkurat I. Setelah Sultan Agung meninggal dalam usia 55 tahun Sunan Amangkurat I sebagai Putera Mahkota dilantik menjadi Raja di Mataram. Sebagai pengganti almarhum Ayahnya (Sultan Agung) Sunan Amangkurat I tidak seidiologi dengan perjuangan Ayahnya Sunan Amangkurat I sangat otoriter dan kejam terhadap rakyatnya.


Bahkan Istana Mataram dijadikan Mataram tempat untuk mengeksekusi sekitar 300 ulama. Karena dianggap sebagai pembangkang ulama-ulama pemimpin informal itu ditangkapi secara massal, termasuk Eyang dan Ayahnya Trunojoyoyang mati ditangan Sunan Amangkurat I.


Selama memerintah Mataram, Sunan Amangkurat I lebih berpihak kepada Kompeni, hal itu membuat rakyat Mataram marah besar. Tatkala Raden Trunojoyo memberontak bersama tentaranya yang dipimpin Natananggala, spontan mendapat dukungan dari semua pihak. Termasuk dari padepokan padepokan Islam Makasar, yang dipimpin Kraeng Galesung.


Trunojoyo seorang pemuda yang gagah dan berani, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, Pemerintahan Amangkurat I dapat diruntuhkan. Kota Plered, Jawa Tengah sebagai pusat Pemerintahan Mataram dapat dikuasai Trunojoyo. Sedangkan Sunan Amangkurat I melarikan diri menuju Batavia, meminta bantuan Belanda, namun baru sampai di Tegalarum (Tegal) Sunan Amangkurat I Meninggal. Namun sebelum meninggal, ia sempat melantik putranya yakni Amangkurat II.


Amangkurat II sebagai Raja Mataram, perjuangannya juga tidak sejalan denga Sultan Agung (Eyangnya), ia lebih cenderung meneruskan perjuangan ayahnya yakni Sunan Amangkurat I yang bekerjasama dengan Belanda, Ia tetap berusaha meminta bantuan Kompeni, Ia meloloskan diri ke Batavia lewat Laut Utara.


Sementara perjuangan Aria Wirasaba dan keturunannya, tetap konsisten terhadap perjuangan Sultan Agung terdahulu, bahwa Karawang dijadikan lahan Pertanian Padi untuk memenuhi logistik persiapan menyerang Batavia.


Namun Jika Masih ada sebagian generasi sekarang, masih mempertanyakan nasib Aria Wirasaba, sebab kalau mengacu kepada Pelat Kuning Kandang Sapi Besar, Pelantikan Wedana setingkat Bupati, antara Singaperbangsa dan Aria Wirasaba, dilantik secara bersamaan. Saat itu Singaperbangsa sebagai Bupati di Tanjungpura, sedangkan Aria Wirasaba Bupati Waringipitu. Tapi mengapa kini Aria Wirasaba tidak masuk catatan Administratif Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang.


Perhatikan perkataan Hoofd-Regent (Bupati Kepala) dan Tweeden-Regent (Bupati Kedua) memang datang dari Belanda, yang menyatakan bahwa kedudukan Singaperbangsa lebih tinggi dari Aria Wirasaba. Sebaliknya kalau kita perhatikan sumber kekuasaan yang diterima kedua Bupati itu, yaitu Piagam Pelat Kuning Kandang Sapi Besar, yang ditulis Sultan Agung tanggal 10 bulan Mulud Tahun Alip, sama sekali tidak menyebut yang satu lebih tinggi dari lainnya “ Tapi dalam menyikapi hal ini, kita pun harus lebih arif dan bijaksana, karena setiap peristiwa memiliki situasi dan kondisi yang berbesa-beda itulah Sejarah “ (Sumber Suhud Hidayat Dalam Buku Sejarah Karawang Versi Peruri Halaman 42-51).


Demi menjaga keselamatan, Wilayah Kerajaan Mataram di sebelah Barat, pada tahun 1628 dan 1629 bala tentara kerajaan Mataram diperintahkan Sultan Agung untuk melakukan penyerangan terhadap VOC (Belanda) di Batavia Namun serangan ini gagal karena keadaan medan sangat berat berjangkitnya Malaria dan kekurangan persediaan makanan.


Dari kegagalan itu, Sultan Agung menetapkan daerah Karawang sebagai pusat Logistik, yang harus mempunyai pemerintahan sendiri dan langsung berada dibawah pengawasan Mataram, dan harus dipimpin oleh seorang pemimpin yang cakap dan ahli perang, mampu menggerakan masyarakat untuk membangun pesawahan, guna mendukung pengadaan logistic dalam rencana penyerangan kembali terhadap VOC (Belanda) di Batavia.


Pada tahun 1632, Sultan Agung mengutus kembali Wiraperbangsa dari Galuh dengan membawa 1000 prajurit dan keluarganya menuju Karawang tujuan pasukan yang dipimpin oleh Wiraperbangsa adalah membebaskan Karawang dari pengaruh Banten, mempersiapkan logistik sebagai bahan persiapan melakukan penyerangan kembali terhadap VOC (Belanda) di Batavia, sebagaimana halnya tugas yang diberikan kepada Aria Wirasaba yang telah dianggap gagal.


Tugas yang diberikan kepada Wiraperbangsa dapat dilaksanakan dengan baik dan hasilnya dilaporkan kepada Sultan Agung atas keberhasilannya, Wiraperbangsa oleh Sultan Agung dianugerahi jabatan Wedana (setingkat Bupati ) di Karawang dan diberi gelar Adipati Kertabumi III, serta diberi hadiah sebilah keris yang bernama “KAROSINJANG”.Setelah penganugerahan gelar tersebut yang dilakukan di Mataram, Wiraperbangsa bermaksud akan segera kembali ke Karawang, namun sebelumnya beliau singgah dulu ke Galuh, untuk menjenguk keluarganya. Atas takdir Ilahi beliau wafat di Galuh, jabatan Bupati di Karawang, dilanjutkan oleh putranya yang bernama Raden Singaperbangsa dengan gelar Adipati Kertabumi IV yang memerintah pada tahun 1633-1677, Tugas pokok yang diemban Raden Adipati Singaperbangsa, mengusir VOC (Belanda) dengan mendapat tambahan parjurit 2000 dan keluarganya, serta membangun pesawahan untuk mendukung Logistik kebutuhan perang.


Hal itu tersirat dalam piagam Pelat Kuning Kandang Sapi Gede yang bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut : “ Panget Ingkang piagem kanjeng ing Ki Rangga gede ing Sumedang kagadehaken ing Si astrawardana. Mulane sun gadehi piagem, Sun Kongkon anggraksa kagengan dalem siti nagara agung, kilen wates Cipamingkis, wetan wates Cilamaya, serta kon anunggoni lumbung isine pun pari limang takes punjul tiga welas jait. Wodening pari sinambut dening Ki Singaperbangsa, basakalatan anggrawahani piagem, lagi lampahipun kiayi yudhabangsa kaping kalih Ki Wangsa Taruna, ingkang potusan kanjeng dalem ambakta tata titi yang kalih ewu; dipunwadanahaken ing manira, Sasangpun katampi dipunprenaharen ing Waringipitu ian ing Tanjungpura, Anggraksa siti gung bongas kilen, Kala nulis piagem ing dina rebo tanggal ping sapuluh sasi mulud tahun alif. Kang anulis piagemmanira anggaprana titi “.

Terjemahan dalam Bahasa Indonesia :

Peringatan piagam raja kepada Ki Ranggagede di Sumedang diserahkan kepada Si Astrawardana. Sebabnya maka saya serahi piagam ialah karena saya berikan tugas menjaga tanah negara agung milik raja. Di sebelah Barat berbatas Cipamingkis, disebelah Timur berbatas Cilamaya, serta saya tugaskan menunggu lumbung berisi padi lima takes lebih tiga belas jahit. Adapun padi tersebut diterima oleh Ki Singaperbangsa. Basakalatan yang menyaksikan piagam dan lagi Kyai Yudhabangsa bersama Ki Wangsataruna yang diutus oleh raja untuk pergi dengan membawa 2000 keluarga. Pimpinannya adalah Kiayi Singaperbangsa serta Ki Wirasaba. Sesudah piagam diterima kemudian mereka ditempatkan di Waringinpitu dan di Tanjungpura. Tugasnya adalah menjaga tanah negara agung di sebelah Barat



Penulis : Irvan hanapi

Singaperbangsa Dan Pantangan Menyembelih Kambing

Bupati Pertama Karawang Dan Pantangan Menyembelih Kambing Setelah kemarin penulis mempost sejarah tentang siapa Raden Adipati Singaperbang...